Ketika membicarakan investasi, kita dihadapkan dengan 2 strategi umum yaitu Lump Sum dan Dolar Cost Averaging (DCA). Dalam artikel ini kita akan membahas tentang kedua strategi tersebut dan membandingkan mana yang terbaik. Mana yang sebaiknya di adopsi dalam strategi investasi kita? Namun sebelum itu kita harus memahami terlebih dahulu apa itu Lump Sum dan Dolar Cost Averaging (DCA).
Lump sum dalam investasi saham merujuk pada strategi membeli saham dalam jumlah besar sekaligus pada suatu waktu tertentu, tanpa melakukan pembelian saham secara berkala atau periodik. Pendekatan ini berbeda dengan metode investasi secara periodik atau DCA. Istilah “lump sum” sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya “sekaligus”.
Pendekatan lump sum memberikan peluang keuntungan bagi investor karena memungkinkan mereka untuk segera terlibat di pasar saham dengan seluruh dana yang dimiliki. Hal ini dapat mengoptimalkan potensi pertumbuhan investasi karena semua dana tersebut dapat mengalami apresiasi pasar sejak awal. Strategi ini seringkali digunakan ketika investor memiliki jumlah dana yang cukup besar dan yakin dengan kondisi pasar saat ini.
Sebagai contoh, seorang investor memutuskan untuk menginvestasikan seluruh jumlah uang warisan atau hasil penjualan aset warisan dalam saham tertentu. Dengan demikian, ia tidak menunggu untuk membagi investasinya menjadi bagian-bagian kecil yang dicicil dalam periode tertentu (investasi mingguan, bulanan atau tempo periodik lainnya).
Dengan asumsi saham yang dipilihnya akan terus bertumbuh, maka dengan lump sum kita bisa mendapat potensi keuntungan lebih tinggi. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan lump sum juga melibatkan risiko, terutama jika dilakukan pada saat pasar sedang tidak stabil. Jika pasar saham mengalami fluktuasi besar atau mengalami penurunan signifikan setelah investasi lump sum dilakukan, investor bisa mengalami kerugian yang besar pula. Oleh karena itu, pemilihan waktu yang tepat dan pemahaman terhadap kondisi pasar sangat penting dalam menjalankan strategi lump sum.
Dolar Cost Averaging (DCA) adalah strategi investasi yang melibatkan pembelian sejumlah saham dengan jumlah uang tetap (dengan nominal yang sama) secara berkala atau periodik, tanpa memperhatikan harga saham pada saat itu. Pendekatan ini dirancang untuk mengurangi dampak fluktuasi harga saham, dengan mengizinkan investor untuk mendapatkan rata-rata harga yang lebih baik seiring waktu. Konsep inti dari DCA adalah bahwa investor dapat membeli saham lebih banyak ketika harga rendah dan lebih sedikit ketika harga tinggi.
Contoh sederhana DCA adalah seorang investor yang memutuskan untuk menginvestasikan Rp 1.000.000,00 setiap bulan dalam saham perusahaan tertentu. Jumlah saham yang dibeli akan bergantung pada harga saham saat itu. Jika harga saham tinggi, investor akan mendapatkan jumlah saham yang lebih sedikit. Sebaliknya, jika harga saham rendah, investor akan mendapatkan lebih banyak saham dengan jumlah investasi yang sama. Proses ini terus berlanjut secara teratur sampai periode tertentu.
Keuntungan dari DCA adalah bahwa investor dapat mengurangi risiko pergerakan pasar saham. Dengan menginvestasikan jumlah yang tetap secara berkala, investor tidak perlu mencemaskan fluktuasi harian atau mingguan. Selain itu, DCA memungkinkan investor untuk memanfaatkan kondisi pasar yang tidak dapat diprediksi, seperti penurunan harga saham selama periode tertentu.
Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang investor yang menginvestasikan sejumlah besar uang pada saat tertentu (Lump Sum) dan kemudian pasar saham mengalami penurunan besar. Dengan DCA, investor tidak terlalu terpengaruh oleh penurunan pasar tersebut karena mereka terus melakukan pembelian pada harga yang lebih rendah, yang pada akhirnya dapat menghasilkan rata-rata harga yang lebih baik.
Meskipun DCA dapat membantu meredakan dampak fluktuasi pasar, perlu diingat bahwa tidak ada strategi investasi yang sepenuhnya bebas risiko. Pemilihan strategi harus disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan investasi masing-masing individu.
Lump Sum vs DCA: Mana yang lebih baik?
Sekitar beberapa tahun lalu saya mendapatkan pertanyaan dari mahasiswa. Jika bisa memilih, strategi apa yang digunakan dalam berinvestasi? Lump Sum atau DCA? Saya menjawab, tergantung beberapa faktor. Yang pertama, apakah kita memiliki ketersediaan dana untuk memakai strategi lump sum? Yang kedua, saham apa yang kita bidik untuk investasi?
Jika faktor pertama jawabannya tidak memiliki dana untuk melakukan strategi lump sum, sudah jelas saya akan memilih strategi DCA. Namun jika memiliki ketersediaan dana, kita bisa melihat faktor kedua. Saham apa yang kita bidik? Apakah yakin dengan saham tersebut? Yakin disini maksudnya kita memiliki keyakinan yang cukup akan pertumbuhan konsisten dari saham tersebut. Bagaimana cara menganalisis saham sehingga memiliki keyakinan yang cukup? Kita bisa menganalisis secara fundamental dan teknikal. Cara menganalisis fundamental dan teknikal akan dibahas dikesempatan berikutnya ya.
Setelah saya memiliki keyakian yang cukup, saya akan melakukan strategi lump sum. Namun ketika saya tidak memiliki keyakinan yang cukup, saya akan menggunakan strategi DCA. Setelah saya memberikan jawaban seperti itu, mahasiswa lain ikut bertanya. Bukannya DCA lebih baik karena bisa mereduksi fluktuasi harga saham? Akhirnya saya menjawab kembali, lump sum dan DCA memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, keberhasilan keduanya ditentukan oleh situasi pasar dan fluktuasinya. Sebagai contoh perhatikan gambar dibawah ini:
Simulasi diatas berisi 2 skenario, skenario DCA dengan total dana Rp 12.000.000,00 namun pembelian saham dilakukan secara periodik satu bulan sekali dalam satu tahun. Skenario Lump Sum dengan total dana yang sama yaitu Rp 12.000.000,00 dengan pembelian langsung di awal tahun atau bulan januari. Dalam simulasi pertama, kita bisa menyimpulkan bahwa DCA mendapatkan keuntungan lebih besar. Namun apakah DCA selalu mengungguli lump sum dalam semua kesempatan? Silahkan lihat gambar simulasi 2 dibawah ini:
Dengan simulasi kedua, kita bisa melihat bahwa strategi lump sum menghasilkan keuntungan lebih tinggi dibandingkan DCA. Mengapa hasil dari simulasi pertama dan kedua bisa berbeda? Kalau anda perhatikan, perbedaannya disebabkan oleh fluktuasi harga saham. Lalu mana yang lebih baik, lump sum atau DCA? Jawabannya tergantung fluktuasi harga yang terjadi. Ketika aset memiliki fluktuasi tinggi, strategi DCA lebih cocok untuk diterapkan. Namun ketika fluktuasi aset rendah, strategi lump sum lebih menguntungkan. Bagaimana menurut anda?