Teori bubble dalam ekonomi dan keuangan menggambarkan situasi di mana harga suatu aset meningkat secara drastis melebihi nilai intrinsiknya didorong oleh perilaku spekulatif investor. Untuk memudahkan pemahaman, bayangkan sebuah balon yang ditiup semakin besar hingga tidak dapat menahan tekanan udara di dalamnya dan akhirnya meletus. Begitu pula dengan bubble dalam pasar keuangan. Misalnya, bayangkan sebuah kota di mana semua orang tiba-tiba sangat tertarik membeli ikan cupang karena percaya harganya akan terus naik. Seiring semakin banyak orang yang membeli ikan cupang, harganya naik drastis meskipun nilai intrinsik ikan cupang tersebut sebenarnya tidak berubah. Orang-orang membeli ikan cupang bukan karena mereka pecinta ikan hias, tetapi karena mereka berharap bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi. Pada puncaknya, harga ikan cupang jauh melebihi nilai sebenarnya. Ketika beberapa orang mulai menyadari bahwa harga ini tidak masuk akal dan mulai menjual ikan cupangnya, harga mulai turun dengan cepat. Kepanikan terjadi saat semua orang mencoba menjual ikan cupang mereka sebelum harganya jatuh lebih jauh. Akhirnya harga ikan cupang kembali ke nilai normal atau bahkan lebih rendah, menyebabkan banyak orang menderita kerugian besar. Fenomena ini adalah ilustrasi sederhana dari bubble dalam ekonomi, di mana euforia pasar dan perilaku spekulatif dapat menyebabkan kenaikan harga yang tidak berkelanjutan, yang akhirnya diikuti oleh kejatuhan harga yang tajam.
Peristiwa Bubble Di Dunia
Tulip Mania
Sepanjang sejarah, dunia telah menyaksikan berbagai peristiwa bubble yang terkenal. Salah satu yang paling awal dan legendaris adalah Tulip Mania di Belanda pada tahun 1636-1637. Pada masa itu harga bunga tulip melonjak drastis karena spekulasi, mencapai puncaknya ketika satu tanaman tulip bisa bernilai setara dengan rumah di Amsterdam. Namun ketika kesadaran akan ketidakrealistisan harga ini muncul, pasar runtuh dan menyebabkan kerugian besar bagi para spekulan serta mengguncang ekonomi Belanda.
Bubble Laut Selatan
Bubble terkenal lainnya adalah Bubble Laut Selatan yang terjadi pada tahun 1720 di Inggris. South Sea Company yang memiliki monopoli perdagangan dengan Amerika Selatan, menarik investasi besar dari publik Inggris dengan janji keuntungan fantastis. Harga saham perusahaan ini melonjak tinggi didorong oleh spekulasi massal. Ketika realitas bahwa perusahaan tidak bisa memenuhi harapan tinggi tersebut mulai tersadari, harga saham jatuh drastis dan mengakibatkan kerugian besar bagi banyak investor serta mengakibatkan krisis finansial di Inggris.
Bubble Dot-com
Pada akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an dunia menyaksikan Dot-com Bubble, terutama di Amerika Serikat. Dengan berkembangnya internet, banyak perusahaan teknologi baru muncul dan langsung menarik perhatian investor. Saham-saham perusahaan teknologi dan internet melambung tinggi meski banyak dari mereka belum menghasilkan keuntungan nyata. Ketika euforia berakhir dan perusahaan-perusahaan ini tidak dapat memenuhi ekspektasi, pasar saham teknologi runtuh pada tahun 2000, menghapus nilai miliaran dolar dan menyebabkan penurunan tajam di pasar saham global.
Bubble Properti
Bubble properti di pertengahan 2000-an adalah contoh lain yang signifikan terutama di Amerika Serikat. Harga properti meningkat secara dramatis didorong oleh praktik pinjaman yang longgar dan spekulasi bahwa harga rumah akan terus naik. Namun ketika pasar perumahan mencapai titik jenuh dan para peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban hipotek mereka, harga properti jatuh tajam. Kejatuhan ini memicu krisis keuangan global pada tahun 2008, menyebabkan resesi luas dan krisis ekonomi di banyak negara. Peristiwa-peristiwa bubble ini menunjukkan pola yang sama: harga aset yang naik tajam karena spekulasi berlebihan, diikuti oleh kejatuhan harga yang drastis ketika euforia pasar berakhir dan realitas fundamental kembali disadari.
Tahapan-Tahapan Bubble
Pengembangan: Pada tahap ini, perubahan besar dalam ekonomi, seperti inovasi teknologi atau deregulasi, menciptakan peluang baru yang menarik perhatian investor. Misalnya, pengenalan internet pada akhir 1990-an menciptakan banyak perusahaan dot-com baru.
Boom: Setelah tahap pengembangan, harga aset mulai meningkat dengan cepat. Keberhasilan awal menarik lebih banyak investor yang ingin memanfaatkan peluang ini, mendorong harga naik lebih tinggi. Media mulai meliput kenaikan ini, menambah euforia dan menarik lebih banyak partisipasi dari publik.
Euforia: Ini adalah tahap puncak dari bubble. Harga aset melonjak ke tingkat yang sangat tinggi dan perilaku spekulatif menjadi umum. Investor membeli aset bukan berdasarkan nilai fundamental tetapi dengan harapan harga akan terus naik. Keyakinan bahwa harga akan terus meningkat membuat risiko tampak rendah atau tidak relevan.
Kesadaran: Beberapa investor mulai menyadari bahwa harga telah meningkat terlalu jauh dari nilai fundamental. Mereka mulai menjual aset mereka untuk mengambil keuntungan. Ini menyebabkan harga mulai turun, dan semakin banyak investor yang ikut-ikutan menjual untuk menghindari kerugian.
Pecahnya Bubble: Ketika lebih banyak investor mulai menjual aset mereka, harga jatuh dengan cepat. Kejatuhan harga ini sering dipicu oleh suatu kejadian atau perubahan sentimen pasar. Panik menyebar, dan penjualan besar-besaran terjadi, menyebabkan harga anjlok tajam.
Kepanikan: Pada tahap ini, harga terus turun ke tingkat yang lebih rendah, seringkali di bawah nilai fundamentalnya. Banyak investor menderita kerugian besar. Kepercayaan terhadap pasar atau aset yang bersangkutan runtuh, dan bisa membutuhkan waktu yang lama untuk pulih.
Dampak Terjadinya Bubble
Ketika sebuah bubble pecah, dampaknya bisa sangat luas dan mendalam, mempengaruhi individu, perusahaan, dan bahkan ekonomi global. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai dampak-dampak tersebut:
Kerugian Finansial: Ketika bubble pecah, harga aset yang sebelumnya meningkat tajam akan jatuh secara drastis. Investor yang membeli aset pada harga puncak akan mengalami kerugian besar karena nilai aset mereka merosot. Ini bisa mengakibatkan hilangnya kekayaan secara signifikan, terutama bagi mereka yang heavily invested dalam aset tersebut.
Krisis Ekonomi: Kejatuhan harga aset secara drastis dapat memicu krisis ekonomi. Sebagai contoh, pecahnya housing bubble di Amerika Serikat pada tahun 2008 menyebabkan krisis keuangan global, yang dikenal sebagai Great Recession. Bank-bank yang memberikan pinjaman berbasis aset yang nilainya anjlok mengalami kerugian besar, yang kemudian berdampak pada sektor keuangan dan ekonomi secara keseluruhan.
Pengangguran: Krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pecahnya bubble sering kali diikuti oleh resesi, yang menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar atau mengurangi operasionalnya. Ini mengakibatkan peningkatan pengangguran karena perusahaan-perusahaan ini memberhentikan karyawan atau menghentikan perekrutan.
Penurunan Kepercayaan Pasar: Pecahnya bubble dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan terhadap pasar dan aset terkait. Investor menjadi lebih berhati-hati dan cenderung menghindari spekulasi berlebihan. Ini dapat mengurangi likuiditas di pasar keuangan dan memperlambat pemulihan ekonomi.
Intervensi Pemerintah: Untuk mengatasi dampak negatif dari pecahnya bubble, pemerintah dan bank sentral sering kali perlu campur tangan. Ini bisa termasuk langkah-langkah seperti bailout untuk perusahaan yang terkena dampak, penurunan suku bunga, atau penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif untuk merangsang perekonomian.
Perubahan Regulasi: Krisis yang dipicu oleh pecahnya bubble sering kali mendorong pemerintah untuk memperkenalkan regulasi baru yang lebih ketat untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Misalnya, setelah krisis keuangan 2008, berbagai negara memberlakukan reformasi regulasi di sektor perbankan dan pasar keuangan untuk meningkatkan stabilitas dan transparansi.
Daftar Bacaan
Dale, R. S., Johnson, J. E., & Tang, L. (2005). Financial markets can go mad: evidence of irrational behaviour during the South Sea Bubble 1. The Economic history review, 58(2), 233-271.
Garber, P. M. (1989). Tulipmania. Journal of political Economy, 97(3), 535-560.
Gorton, G. B. (2010). Slapped by the invisible hand: The panic of 2007. Oxford University Press.
Gürkaynak, R. S. (2008). Econometric tests of asset price bubbles: taking stock. Journal of Economic surveys, 22(1), 166-186.
Kindleberger, C. P. (2000). Manias, panics, and crashes: a history of financial crises. The Scriblerian and the Kit-Cats, 32(2), 379.
Le Bris, D. (2016). Shiller, Robert J.: Irrational exuberance. Journal of Economics, 117(2), 185.
Ofek, E., & Richardson, M. (2003). Dotcom mania: The rise and fall of internet stock prices. the Journal of Finance, 58(3), 111